Pages

Kamis, 19 Maret 2009

senyum

senyum 1:
senyum ini tanpa arti
ia tidak bernama
pula tidak bermakna
ia selalu terbuka namun terasa samar
karena tak akan ada pusaran tanya
untuk apa...
untuk siapa...

senyum 2:
senyum ini adalah penyesalan
menyesal pada kebodohan!
menyesal pada kepengecutan!
menyesal pada kehidupan!
menyesal pada kesendirian...
yang selalu melawanku!
selalu mengalahkanku!
dan berharap kegelapan panjang mengambilku

senyum 3:
senyum ini tak berguna
namun ia masih memainkan peranan
entah untuk kebaikan
atau sebaliknya
ia adalah ketidakpastian
yang mudah disulam diberbagai tempat
ia adalah bayangbayang
yang tak layak ada
namun juga harapan
yang layak kuandalkan

senyum 4:
senyum ini adalah hak!
namun bukan ia yang menentukan
apa yang seharusnya terjadi
dan apa yang tidak
ia ada saat semua
mulai kosong dan pelupa
ia tidak dimengerti
senyum ini yang akan menjadi sang AKU
sebelum kuserahkan diriku pada dunia ini

jaM diNdiNg

kadang kala tuhan mengejekku lewat jarum jam dinding. taktaktak. tiktiktik. taktiktaktik. tak. tak. tapi aku selalu abai. aku lebih acuh pada detak dadaku sendiri. dadaku tanpa jarum, hanya detaknya lebih tajam dan nyaring. bunyinya mengganggu tidurku yang sunyi. dingdongdungdeng, dangdingdungdong. pukul satu pukul dua pukul waktu memukul-mukul pantatku. aku serba tergesa serba tergegas. gegas tidur, gegas makan, gegas bersepatu, gegas berangkat mengejar kalender harian. lalu gegas pulang memandangi lagi jam dinding di tembok kamarku. masih dengan ejekan yang sama, kian membosankan saja. taktaktak. tiktiktik. taktiktaktik. tak. tak. lama-lama aku tak bisa lagi abai. sebab jam dinding itu telah menyandra kepalaku.

sementara di kamar yang lain, di dinding yang lain, ada yang sedang menyusun strategi.

KuLiaH paGi

Kami bertarung dengan rasa bosan dan selembar peta. lihatlah, tak ada sejarah di gambar ini. hanya jazirah yang marah dengan bentangan ladang dan sawah. juga para petani yang menyewa tanah mereka sendiri, lalu makan beras dari toko sebelah rumah. kami bertarung dengan rasa bosan di buku tebal berisi ratusan tabel dan angka-angka. dan selembar kartograf yang miskin data, miskin berita, miskin senyuman. selembar peta yang murung, topografi yang bingung sebab sawah-sawah di gunung itu gembur dan muara-muara kami penuh ikan dan belut bergelung-gelung di dasar lumpur.

kami bertarung dengan selembar peta yang bosan. murung dengan tanda-tanda palsu, dengan legenda dan garis-garis bayangan belaka, dengan skala yang terlalu rabun untuk menggambarkan pematang sawah-sawah kami yang musnah. peta yang menangis darah tersalib garis bujur dan lintang yang tak berarti apa-apa. tidak sawah yang subur tidak ikan berlimpah. kami bertarung dengan seringai profesor statistika yang menertawakan kemiskinan, seperti kami menertawai kebodohan kami sendiri.

kami bertarung berebut bosan dengan selembar peta. peta yang bingung, negeri siapa tergambar di sana. dan kami yang bosan, melihat gambar yang itu-itu juga.